Ba Tungkutn Kulita Ba Ampar Bide, Bakomo’ Ba Haupm Mahauman Nanag Gagas Nang Baik

Mengenal Kampung Sunge Banokng

Minggu, 25 Mei 2008

Oleh; Thomas Apon

Deskripsi Singkat mengenai Sunge Banokng
Geografi

Sunge Banokng merupakan kampung kecil di Desa Menjalin, Kecamatan Menjalin. Kampung ini merupakan bagian dari Dusun Menjalin hilir dan terdiri dari 3 Rukun Tetangga (RT) yaitu RT 04, RT 05 dan RT 06. Kampung ini cukup mudah dicapai karena terletak di tepi jalan Pontianak—Menjalin. Jarak dari Pontianak ke kampung ini kurang lebih 91 kilometer.

Dalam sejarahnya, nama Sunge Banokng berasal dari tumbuhnya pohon-pohon banokng (sejenis pohon kayu) di sepanjang tepi sungai (sunge) yang dilihat oleh orang-orang yang mula-mula membuka kampong ini. Kampung ini dilalui sungai yang cukup besar, Sungai Mempawah. Selain Sungai Mempawah terdapat sungai-sungai kecil yang bermuara di sungai besar ini, yakni Sungai Seboro, yang menandai batas kampung ini dengan Menjalin Hilir dan Sungai Nyimpat yang bermata air di Bukit Samabue. Bukit Samabue terdapat di dalam wilayah kampung ini, selain sebagai sumber mata air juga (hingga sementara ini) merupakan daerah berhutan dengan pohon-pohon kayu yang masih bisa dimanfaatkan. Sungai Nyimpat memasok kebutuhan air bersih warga Kampung Sunge Banokng. Di bagian hulu, di kaki bukit, sungai ini dibendung dan airnya dialirkan melalui pipa-pipa PVC (paralon) ke rumah-rumah penduduk.

Kampung ini termasuk ke dalam kategori daerah rural dengan kegiatan pertanian lebih menonjol. Hal itu dapat dilihat dari pemanfaatan lahan sbb .

Jenis Pemanfaatan Luas (Ha)
Pemukiman 5, 44
Sawah 85,65
Udas (Hutan Reservasi Komunitas) 30,29
Kebun Karet 129,34
Bawas (Land Banking) 44,47
Kompokng Timawakng 6.44

Etnisitas Penduduk, Sejarah

Hingga tahun 1967 Sunge Banokng merupakan kawasan pertanian (farm) komunitas Tionghoa. Diperkirakan komunitas Tionghoa di Sunge Banokng berasal dari Mandor dan Monterado yang menyebar untuk mencari tanah pertanian setelah tambang emas tempat mereka bekerja di kedua tempat tersebut ditutup pada dekade ke-dua abad ke duapuluh. (pada tahun 1854-1856 dan 1914-1916 enklave-enklave komunitas Tionghoa yang awalnya adalah para pekerja tambang emas mencoba memerdekakan diri dari pengaruh politik kesultanan dan Belanda; usaha-usaha ini memicu perang segitiga Kesultanan Melayu dan Belanda melawan kekuatan Tionghoa; ketika kekuatan politik Tionghoa dilumpuhkan, warganya menyebar ke berbagai tempat untuk menjalani hidup sebagai petani) . Beberapa waktu setelah Perang Dunia ke II, kemenangan Mao Tse Tung (Mao Xedong) atas kaum Nasionalis pimpinan Chiang Kai Sek di daratan Cina, mendorong penyebaran pengaruh ideologi komunis ke seluruh dunia tidak terkecuali Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat pengaruh ini terutama menjalar melalui komunitas-komunitas Tiongho, termasuk komunitas Tionghoa Sunge Banokng.

Karena dianggap ancaman serius, Pemerintahan Orde Baru memutuskan untuk menumpas gerakan ini. Pada tahun 1967 dijalankan skenario penumpasan gerakan PGRS/PARAKU yang terkenal itu. Komunitas Tionghoa yang berada di pedalaman “digiring” mendekati Pontianak supaya mudah disusupi inteljen untuk mengetahui apa yang terjadi dalam komunitas-komunitas itu sehubungan dengan kecurigaan terhadap kaum komunis . Di Sunge Banokng, Bukit Samabue dicurigai sebagai persembunyian para pegiat komunis yang mendapat pasokan perbekalan dari komunitas Sunge Banokng. Ansar Rahman, sebagaimana dikutip oleh Bambang Hendarta Suta Purwana melukiskan:

…dikarenakan jumlah personel TNI tidak cukup untuk melakukan pengejaran terhadap tersangka tokoh dan anggota PARAKU serta PGRS yang mayoritas etnis Tionghoa. Dimunculkan isu bahwa Dayak dibunuh oleh orang Tionghoa. Ini kemudian menghidupkan kembali tradisi mengayau untuk mengejar dan menyingkirkan etnis Tionghoa dari wilayah Kalbar. Ketika isu masuk dan masyarakat Dayak terprovokasi isu tersebut, maka masyarakat Dayaklah yang kemudian mengejar dan mengayau etnis Tionghoa…

Peristiwa tahun 1967 berakibat pada kosongnya Kampung Sunge Banokng karena warganya (komunitas Tionghoa) masuk ke kamp-kamp pengungsian di Pontianak dan tempat-tempat lain. Berangsur-angsur terjadi pemindahan pemilikan lahan di kampung tersebut. Ada sebagian lahan yang diberikan oleh keluarga-keluarga Tionghoa yang memilikinya diserahkan kepada orang-orang yang tinggal di kampung-kampung sekitar; ada yang dititipkan untuk dijual; ada yang tidak sempat diurus sehingga kemudian diambil begitu saja oleh orang-orang di sekitar kampung tersebut.

Pada saat Sunge Banokng menjadi tanah pertaniannya komunitas Tionghoa, terdapat 3 orang Melayu dan 5 orang Madura yang menjadi pekerja (penyadap karet, dsb) di tanah pertanian orang-orang Tonghoa ini. Pada peristiwa 1967 ke-8 orang ini mendapat dan/atau membeli lahan
(sawah/kebun karet/) dari majikannya. Orang-orang inilah yang menjadi cikal bakal komunitas Melayu (sekarang 16 keluarga), komunitas Madura (sebelum tahun 1983 terdapat 20 keluarga di kampung ini). Pada masa ini juga ada satu keluarga orang Jawa yang mulanya adalah peserta proyek transmigrasi di Kampung Lonjengan (1965) yang mengambil menantu seorang laki-laki Melayu Sunge Banokng yang akhirnya juga bergabung untuk mengadu nasib di Sunge Banokng. Keluarga ini kemudian menjadi petani yang cukup berhasil di Sunge Banokng hingga sekarang. Saat ini jumlah keluarga dari etnis Jawa ada 20. Keluarga-keluarga ini datangnya tidak bersamaan dan dari berbagai jalur. Di antara mereka ada yang berprofesi pegawai negeri (staf kecamatan, petugas lapangan dari Dinas Pertanian), guru, anggota militer dan pedagang selain petani yang telah disebutkan tadi. Orang-orang Dayak yang datang untuk bertempat tinggal di kampung ini mula-mula hanya 12 orang. Mereka ini berasal dari kampung yang berbeda-beda: Marinso (3 orang), Saledok (1 orang), Paladis Kaca’ (2 orang), Nyawan (1 orang), Batukng Tanjukng (1 orang), Tengkuning (2 orang) dan Salore (2 orang). Kampung-kampung ini rata-rata cukup jauh letaknya dari Sunge Banokng (10 – 20 km). Setelah tahun 1986 jumlah keluarga dari etnis Dayak yang pindah ke kampung ini semakin banyak. Pada tahun 1986, lapangan terbang yang dibangun oleh Gereja PPIK (Persekutuan Pemberitaan Injil Kristus) pada jaman “penyebaran agama” pada awal tahun 1970an tidak difungsikan lagi. Tanah ini dikapling-kapling oleh pengurus gereja untuk dijual. Banyak orang dari berbagai kampung membeli tanah kaplingan ini dan menetap di kampung ini. Sejak saat ini pertambahan jumlah keluarga Dayak cukup pesat. Hingga saat ini terdapat 191 keluarga. Orang Dayak yang tinggal di Sunge Banokng juga mempunyai berbagai profesi: PNS dari berbagai departemen/dinas, guru, pedagang (mempunyai toko di Pasar Menjalin) dan petani. Namun secara keseluruhan, hampir semua orang di kampung ini mempunyai pekerjaan sambilan yang berkaitan dengan pertanian/peternakan: bersawah, menanam sayuran di pekarangan, pelihara ternak, dsb.

Warga Sunge Banokng (dari etnis Dayak maupun Melayu dan Jawa) tidak pernah mempunyai masalah dengan warga Madura. Namun, pada setiap peristiwa kekerasan yang melibatkan kelompok Dayak vis-à-vis Madura, mereka pada umumnya merasa terancam terhadap serangan yang mungkin dilakukan oleh orang dari luar kampung. Dalam situasi seperti ini sangat tidak masuk akal juga untuk mengharapkan warga yang lain untuk menjaga warga Madura terhadap kemungkinan serangan dari kampung lain. Yang dapat dilakukan oleh warga adalah menasihatkan warga Madura untuk cepat-cepat mencari tempat berlindung. Hal ini terjadi paling tidak 5 kali sejak tahun 1970an. Setiap kali ada peristiwa perkelahian antara Dayak—Madura, orang-orang Madura Sunge Banokng pergi mengungsi. Dan setiap ada pengungsian, tidak semua kembali ke Sunge Banokng. Sebelum tahun 1997 tinggal 5 keluarga yang tetap tinggal di Sunge Banokng. Setelah peristiwa 1997 tidak ada lagi keluarga Madura yang kembali ke Sunge Banokng. Mereka kemudian menjual tanah mereka ke orang-orang setempat .

Komunitas Sunge Banokng dan Organisasi-organisasi Warga
A. Sunge Banokng sebagai Kampung Baru

Sunge Banokng merupakan kampung baru. Masyarakatnya merupakan masyarakat baru. “Baru” bagi kampong Sunge Banokng bukan hanya dalam arti tahun mulai terbentuknya kampong ini, yakni sekitar tahun 1967. Komunitas Sunge Banokng merupakan masyarakat baru juga dalam arti mereka bukan satu kelompok masyarakat yang anggota-anggotanya saling memiliki hubungan keluarga dan merupakan bagian dari suatu pohon silsilah, yang mempunyai sejarah yang sama, melainkan masyarakat ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari kampong-kampung di sekitar maupun dari berbagai tempat lain yang jauh, bahkan dari luar pulau. Istilah baru di sini dimaksudkan juga untuk membedakan situasi cultural masyarakat Sunge Banokng yang berbeda dari “kampong tradisional” yang dicirikan dengan antara lain penduduk memiliki kesejarahan yang sama. Khusus mengenai kampong-kampung Dayak, salah satu cirri kampong tradisional ini adalah hadirnya “timawakng” sebagai salah satu simpul kesejarahan kampong.

B. Kepengurusan Adat
Meskipun kampung ini adalah kampung baru, namun kultur yang melingkungi kampung ini adalah kultur Dayak. Selain karena mayoritas penduduknya adalah dari etnis Dayak (191 keluarga berbanding 20 keluraga Jawa dan 16 keluarga Melayu) kampung ini terletak di tengah-tengah wilayah dengan kultur Dayak yang sangat menonjol. Masyarakat Dayak Ba’ahe yang mendiami kampung-kampung di sekitar Sunge Banokng ini mempunyai kewilayahan sosio-politik yang dinamakan binua. Di dalam sebuah binua terdapat struktur sosial di mana ada orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi sosial politik yang dipimpin oleh seorang timanggong. Secara kewilayahan binua terdiri dari kampung-kampung. Di setiap kampung juga terdapat orang-orang yang menjalankan fungsi sosial politik kampung yang sebenarnya ikatannya dengan Binua sebenarnya merupakan ikatan “ancestral”.(karena mempunyai nenek moyang yang sama). Sebenarnya sebuah binua adalah suatu wilayah di mana masyarakat Dayak Ba’ahe mensinkronkan wilayah-wilayah dalam kehidupan manusia di mana terdapat rejeki, nasib dan peruntungan dan usaha di satu pihak dan tuntutan moral, nilai-nilai di lain pihak dengan cara-cara mengelola alam. Mereka percaya bahwa jika tidak ada keseimbangan antara moral manusia dengan usaha mengelola alam, alam akan memberi sanksi dalam bentuk kesialan . Konsep ini yang ada di dalam “klaim” bahwa Sunge Banokng merupakan bagian dari Binua Lumut Ilir.
Secara garis keturunan, memang orang-orang di Sunge Banokng tidak bisa dikatakan satu nenek moyang dengan orang-orang di kampung-kampung lain di Binua Lumut Ilir. Hanya aspek geografi saja yang mendekatkan Sunge Banokng dengan binua ini. Namun ini sebenarnya tidak menjadi persoalan bagi masyarakat Sunge Banokng, walaupun toh di tahun 1978 Sunge Banokng dan Menjalin (daerah pasar/kota) dijadikan binua tersendiri, yaitu Binua Manjalin
Pada tahun 1998 orang-orang muda yang progresif melihat bahwa para pejabat dalam struktur adat, terutama yang mengemban tugas dan fungsi yang langsung berhubungan dengan persoalan Kampung Sunge Banokng tidak efektif. Mereka mengusulkan dibentuknya kepengurusan yang baru karena ketidakefektifan kepengurusan yang ada ini lebih karena faktor usia lanjut para pemegang fungsi ini. Usulan ini diterima.
Pembaruan kepengurusan adat ini hanya dibatasi untuk tingkat kampung. Karena, bagaimanapun, masyarakat di binua percaya bahwa di tingkat binua tidak boleh ada pemilihan pemimpin binua (timanggong) jika yang bersangkutan masih hidup. Yang menarik dari pembaruan kepengurusan adat di Kampung Sunge Banokng ini adalah, pertama “jabatan-jabatan” kepengurusan yang ditawarkan untuk dipilih orang-orangnya adalah jabatan-jabatan yang fungsi-fungsinya sesuai dengan kebutuhan kampung. Sebagai kampung yang punya karakteristik rural; di mana penduduk baik yang berprofesi petani maupun bukan mempunyai keterkaitan dengan pertanian atau kegiatan bercocok tanam, jabatan atau fungsi tuha tahutn, yaitu pengurus yang membidangi soal pertanian, adalah yang diutamakan. Selain tuha tahutn, yang dipilih adalah panyanakng kalangkakng (pembantu tuha tahutn dalam hal memimpin ritual—untuk tujuan kegiatan pertanian), pangalangok kampokng (fungsinya ditransformasikan dari panglima perang menjadi pengerah masyarakat jika terjadi wabah, huru-hara, kerusuhan dan sejenisnya), dan pangarah kampokng laki bini (yang laki-laki bertugas untuk menyebarkan informasi jika ada warga yang sakit, meninggal atau jika ada pesta; yang perempuan bertugas untuk mengelola soal masak-memasak jika ada peristiwa seperti disebut terdahulu). Yang kedua, pemilihan kepengurusan ini inklusif. Meskipun judulnya pengurus adat, namun sebenarnya semua adalah pengurus “kampung”. Jadi siapa saja yang mempunyai kemampuan mengurus kampung mesti diberi kepercayaan untuk menjalankan kepengurusan ini. Dalam hal ini fungsi pangarah kampokng laki-bini adalah jabatan yang paling banyak personelnya, karena tiap RT atau “kelompok” mesti mempunyai pangarah. Majelis Taklim merupakan suatu kelompok yang cukup banyak anggotanya dan “signifikan” dalam sejarah Kampung Sunge Banokng. Maka Majelis Taklim inipun mesti mempunyai seorang pangarah.
B. Majelis Taklim
Majelis taklim merupakan perkumpulan dengan tujuan religius untuk umat Islam di kampung tersebut. Karena kebetulan di kampung tersebut yang beragama Islam adalah orang-orang Jawa dan orang-orang Melayu maka anggota Majelis Taklim ini adalah orang Jawa dan Melayu.
Selain melakukan pendalaman iman (lewat pengajian) perkumpulan ini juga merupakan wadah bagi para anggotanya untuk bisa bertemu, berbagi cerita, berbagi ide.
C. Koperasi Ngudi Makmur
Sebagaimana tersurat dalam namanya, koperasi ini diinisiasikan oleh orang-orang Jawa. Sebagian anggotanya adalah juga anggota dan pengurus Majelis Taklim. Sebagian lain anggota merupakan aktivis gereja (Katolik dan Protestan). Tujuannya adalah pemberdayaan ekonomi anggota. Walaupun namanya sangat Jawa, koperasi ini untuk siapa saja. Pada awal pembentukannya sebenarnya jumlah anggota yang orang Jawa kurang lebih sama dengan anggota yang orang Dayak. Namun kemudian anggota-anggota orang Dayak banyak yang Keluar. Para pengurus koperasi ini menduga, kemungkinan besar tidak bertahannya orang-orang Dayak di koperasi ini adalah karena nama yang sangat Jawa ini.
D. Sule Binua
Sule Binua merupakan sebuah organisasi yang dimaksudkan untuk pemberdayaan bukan hanya anggota-anggotanya namun juga seluruh masyarakat Sunge Banokng. Sule Binua memulai aktivitasnya dengan koperasi.
Koperasi Sule Binua mengalami kemajuan yang cukup berarti. Dimulai dengan belasan orang anggota, koperasi ini mencatat 38 anggota dan mengumpulkan aset sebesar 10 juta rupiah dalam usianya yang satu tahun. Hal lain yang menarik adalah bahwa para pengurus Ngudi Makmur dengan senang hati menjadi pengurus Koperasi Sule Binua sekaligus pengurus organisasi Sule Binua. Dan ini bukan sesuatu yang kebetulan. Para pengurus Ngudi Makmur menyadari bahwa, bagaimanapun, Ngudi Makmur tidak akan menarik warga Sunge Banokng non-Jawa. Pengurus-pengurus ini sebenarnya merindukan juga munculnya organisasi dengan nama lokal. Mereka juga sadar bahwa tentu bukan mereka yang akan memunculkan organisasi dengan nama lokal tersebut. Oleh sebab itu mereka menunggu dan ketika Sule Binua muncul mereka dengan senang hati bergabung.
Namun Sule Binua tidak identik dengan koperasi saja dan agendanya tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan peningkatan ekonomi. Sule Binua ternyata juga menjadi paying bagi kelompok-kelompok tani yang ada di Sunge Banokng. Ada 3 kelompok tani di kampung ini, yakni Aksi Muda I dan Aksi Muda II serta Sinar Pagi. Karena para pengurus kelompok tani ini juga anggota Koperasi Sule Binua sekaligus pengurus Organisasi Sule Binua, mereka biasa bertemu dalam forum Sule Binua dan membahas berbagai persoalan, termasuk persoalan-persoalan internal kelompok tani, di forum ini.
Para pengurus organisasi ini menginkan organisasi ini sebagai motor gerakan orang Sunge Banokng. Saat ini organisasi ini sedang memulai “gerakan bertani dengan efisien dan efektif”. Dan ini dimulai dengan kegiatan-kegiatan sederhana namun nantinya akan memberi hasil yang nampak sekaligus juga mempunyai nilai pendidikan bagi tradisi pertanian baru namun “kontekstual”. Namun mimpi para pengurusnya adalah bagaimana nantinya mentransformasikan gerakan di bidang pertanian ini menuju kegiatan-kegiatan yang mempunyai nilai ekologis, seperti pengembalian fungsi Bukit Samabue yang sekarang dalam kondisi yang hampir parah.
Bagaimana Kelompok-kelompok Etnis di Sunge Banokng Mengelola Relasi Sosial Mereka

Dari uraian di bagian terdahulu nampak bagaimana warga kampung ini tanpa henti-hentinya membentuk dan membentuk kembali organisasi-organisasi. Nampak juga bagaimana perbedaan kultural tidak membuat mereka kaku di dalam bergaul satu sama lain, yang dinampakkan dalam keragaman asal-usul di dalam keanggotaan maupun kepengurusan organisasi-organisasi. Mengapa hal seperti ini terjadi.

Di bagian awal tulisan ini diungkapkan bahwa kampung ini kampung baru. Berbeda dengan kampung tradisional yang warganya pada umumnya merupakan anggota satu “keluarga besar” karena memiliki garis keturunan yang sama, hampir semua warga Sunge Banokng adalah “orang lain bagi tetangganya”. Hal ini ternyata besar pengaruhnya di dalam membangun dasar-dasar relasi. Keluarga-keluarga di kampung ini terbiasa mempunyai tetangga yang adalah “orang lain”. Secara otomatis, hampir setiap saat keluarga-keluarga ini harus memikirkan strategi untuk ber-relasi secara baik dengan tetangga-tetangganya. Sebab tanpa strategi seperti ini, satu keluarga atau seseorang akan mengalami banyak “kerugian sosial”. Bila relasi dengan tetangga tidak baik, misalnya seseorang akan malu untuk minta bantuan pada tetangganya ketika membutuhkan. Padahal dalam kehidupan manusia, selalu saja ada saat di mana dia memerlukan bantuan orang lain, apapun bentuknya.

Faktor lain yang mendukung hidupnya dinamika berorganisasi ini adalah kenyataan bahwa di kampung ini jumlah warga yang mempunyai wawasan yang cukup luas cukup banyak. Wawasan luas ini tidak hanya karena latar belakang pendidikan semata. Orang-orang yang telah mengenal daerah-daerah lain selain daerahnya sendiri berkecenderungan mempunyai wawasan yang luas.

Di forum Sule Binua hal di atas nampak. Memang pengurus Sule Binua hampir semua mempunyai latar belakang pendidikan SLTA ke atas. Sekitar 10 persen pengurus berpendidikan perguruan tinggi (S1 dan D3/D4). Namun pengurus yang juga petani dan berlpendidikan SLTP tidak juga kalah dalam mewarnai dan memberi sumbangan terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Meskipun jumlah orang-orang seperti ini hanya kira-kira 20 persen dari jumlah keseluruhan penduduk namun apa yang mereka lakukan mempengaruhi “psikologi sosial” keseluruhan penduduk.

Hadirnya organisasi-organisasi secara keseluruhan mencerminkan bahwa masyarakat kampung ini telah mampu menuangkan dasar relasi antar individu yang bersifat “rasional” ini untuk tujuan-tujuan sosial (yang melibatkan orang banyak). Pemilihan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi “forum” Sule Binua menunjukkan sikap mengakomodasi perbedaan. Padahal Bahasa Ba’ahe dapat saja digunakan karena orang-orang Melayu dan Jawa di kampung ini toh sudah semua memahaminya.

Pemanfaatan organisasi-organisasi sebagai tempat pemecahan masalah bersama nampak dalamkisah-kisah berikut:

o Pada tahun 1998 orang-orang muda di kampung ini mengusulkan penyegaran kepengurusan institusi sosiopolitik lokal . Penyegaran pengurus ini dilaksanakan untuk tingkat kampung; kepengurusan yang akan diganti adalah tingkatan tuha tahutn ke bawah. Posisi yang paling bersifat umum di dalam tradisi kampung ini adalah posisi pangarah. Pangarah merupakan pengorganisir di tingkat komunitas terkecil (setingkat RT). Karena di Sunge Banokng terdapat kelompok-kelompok etnis dan religi, pemilihan pangarah selain berdasarkan RT juga berdasarkan adanya kelompok ini. dengan ini, kelompok Majelis Taklim mempunyai seorang pangarah yakni ketua Majelis tersebut. Secara internal dia adalah ketua Majelis Taklim sementara dalam hubungan dengan struktur sosiopolitik kampung dia adalah seorang pangarah yang secara khusus bertanggungjawab atas perihal Majelis Taklim.

o Pada tahun 2000—2001 ketika Undang-undang 22/1999 mulai diberlakukan, semangat untuk mengembalikan posisi-posisi politik struktural kepada “putra daerah” santer terdengar termasuk di Kecamatan Menjalin. Hal tersebut membuat komunitas Jawa, terutama bagi anggota-anggota komunitas yang berprofesi sebagai pegawai negeri merasa gelisah. Melihat gejala ini, para pengurus Sule Binua mengajak para anggota PNS di kampung ini berdialog. Intinya, para pengurus itu menekankan bahwa apapun yang akan terjadi di tingkat negara, mereka menjamin kerukunan dan keakraban di kampung itu tetap berjalan seperti biasa.

Pada suatu saat di tahun 2000 warga Sunge Banokng mendapatkan air Sungai Mempawah menyebabkan gatal-gatal ketika digunakan untuk mandi. Orang Sunge Banokng sendiri tidak menggunakan air sungai ini. namun sebagian warga Menjalin, termasuk asrama pelajar dan pastoran, menggunakan air sungai ini. Para pegiat di Sunge Banokng merasa berkewajiban secara moral untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka melakukan pengusutan dan menemukan warga suatu kampung di bagian hulu telah menuba ikan dengan racun kimia. Kebetulan ketua dewan adat Kecamatan Menjalin adalah warga Sunge Banokng. Lewat ketua dewan adat tingkat kecamatan ini mereka memanggil timanggong (kepala binua) dari kampung yang bersangkutan. Timanggong tersebut baru saja mengetahui persoalan ini karena baru saja datang luar kota. Timanggong tersebut segera menyelesaikan permasalahan yang di kampung yang berada di dalam wilayahnya

Read More..

Sikap Hidup Orang Dayak

Oleh; Sunawar Owat
Keadaan social ekonomi suatu masyarakat pada kenyataannya merupakan buah dari sikap hidup atau kebiasaan-kebiasaan tertentu para warganya. Berikut ini adalah beberapa sikap hidup orang Dayak yang ada kaitannya dengan bidang perekonomian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tetapi sudilah untuk tidak memandang sikap-sikap itu sebagai positif atau negative, konstruktif atau destruktif dengan teregsa-gesa dari akcamata ekonomi modern.

1. Orang Dayak suka berbagai kemujuran dengan sesamanya. Daging binatang hasil buruan, beberapa jenis hasil tani dan hasil hutan yang mereka peroleh seringkali dibagi-bagikan kepada sesame secara Cuma-Cuma.
2. Sikap demokratis sebagai salah sati “semangat” kehidupan di rumah panjang masih dimiliki oleh sebagian besar orang Dayak, meskipun rumah panjang mereka hamper punah. Kegiatan perekonomian yang berimplikasi pada kehidupan komunitas biasanya mereka musayarahkan terlebih dahulu.
3. Orang Dayak punya rasa hormat yang tinggi kepada alam lingkungan hidupnya. Pada beberapa subsuku Dayak terdapat adapt yang melarang warga membuat lading digunung tertentu, daerah sekitar alur sungai dan “tembawang”, disertai sanksi-sanksi yang bersifat sacral. Berdasarkan pengalaman, mereka mengetahui bahwa keseimbangan alam harus selalu dipelihara, terutama dengan memelihara jantung-jantung konservasi.
4. Bagi orang Dayak, musuh yang dikenal hanyalah musuh yang menyerang mereka secara fisik. Oleh sebab itu orang lain yang datang untuk menghabisi hutan, menggunduli gunung, mengambul tembawang atau merusak sungai dilingkungan hidup mereka tidak mereka identifikasikan sebagai musuh, sehingga mereka merasa tidak perlu untuk melawa penjahatnya.
5. Tidak bisa menabung atau merencanakan kehidupan masa depan. Orang Dayak belum banyak meninggalkan sifat-sifat sebagai manusia perantau. Kebiasaan menyimpan padi dilumbung (jurong,durong, dango) bukan dimaksudkan untuk menabung , tetapi sekedar menyimpan padi untuk keperluan satu tahun siklus perladangan mereka. Menabung dalam arti menyimpan untuk masa depan dengan mempertahankan atau menambah nilai ekonomis simpanan belum menjadi kebiasaan mereka.
6. Manja pada alam, karena mereka terbiasa dengan mudah memperoleh sayur-sayuran, buah-buahan. Ikan, dan daging binatang yang tersedia dialam sekitarnya.
7. Tidak mengenal system dagang,baik dikalangan mereka sendiri maupun dengan kalangan luar. Apabila mereka pergi menukarkan hasil hutan atau hasil tani dengan barang lain yang mereka perlukan, maka itu dilakukan sepenuhnya dengan sikap “terserah kepada taoke”. (Kanayatn: ahe-ahe ja toke), artinya terserah kepada pihak lain untuk menentukan, orang Dayak juga belum dapat memahami hubungan antara waktu dan nilai ekonomis suatu jeis barang.
8. Suka merendahkan diri dengan bersikap low profile,tidak pandai menawarkan jasa dengan mempertontonkan keterampilan atau kebolehannya. Dalam menghadapi persoalan, orang Dayak lebih suka memilih berdiam diri, sambil berharap agar orang lain dapat menyelami apa keinginan mereka. Menuntut hak hamper tidak dikenal dalam sikap hidup orang Dayak.
9. Orang Dayak gampang iri hati kepada orang sesuku. Sesama orang Dayak yang tampak lebih maju (kaya) biasanya dianggap tidak wajar dan sebaiknya dijauhi. Bila di suatu desa Dayak ada seorang pedagang Tionghoa dan beberapa pedagang Dayak diperbolehkan bersaing secara bebas maka hamper dapat dipastikan pedagang Tionghoa yang akan unggul, karena rasa iri hati masyarakat sekitar akan terarah kepada si pedagang Dayak itu.
10. Mudah tersinggung dalam hal-hal yang menyangkut suku dan adapt istiadatnya. Perasaan terhina bisa menjadi motivasi yang kuat bagi mereka untuk bertindak tetapi untuk mempelajari system pengembangan ekonomi secara terencana dan objektif.
11. Seringkali orang Dayak menghormati tamu secara berlebihan. Bagi tamu disediakan makanan istimewa yang mereka sendiri mungkin jarang sekali bisa menikmatinya. Penghormatan kepada tamu luar ini tanpa perhitungan ekonomis.
12. Sisa-sisa kejujuran dan kepolosan orang Dayak dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk menipu mereka sendiri. Mereka mudah terpengaruh oleh kata-kata manis. Dengan sedikit janji lisan saja, orang lain dapat memperoleh keuntungan dari mereka.
13. Tidak mengenal perbedaan antara kata dan perbuatan. Pada orang Dayak “tradisional”, apa yang dikatakannya pasti akan dilaksanakannya. Sebaliknya, jangan percaya kepada orang dayak “modern”, sebab mereka telah pandai berkata-kata klise sekadar klobotisme.
14.Orang Dayak sangat jarang yang berminat menjadi anggota angkatan bersenjata (militer), Memegang senjata baik mereka berkonotasi “siap untuk membunuh” secara kurang jantan. Padahal anggapan ini keliru. Akibatnya peluang mereka untuk berperan dalam kekuasaan politik menjadi kecil. Kita tahu bahwa kekuasaan politik dapat berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian.

Beberapa Prinsip

Transformasi budaya tidak bisa di paksakan. Untuk transformasi itu diperlukan kesabaran ekstra dalam waktu panjang, secara bertahap dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tantangan sungguh besar. Dalam dunia perekonomian kita yang masih subur dengan sikap serakah, tindas-menindas, tipu-menipu, monopoli, manipulasi, kongkalingkong busuk, korup, cari untung dengan mengorbankan yang lain, individualisme, mental judi “sdsb” (suka duit sambil bermimpi), seakan-akan tidak ada lagi tempat buat kejujuran, keadilan, penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi manusia terlepas dari harta yang ada padanya, serta kenajuan dan kesejahteraan bersama.
Namun marilah kita tetap optimis. Terus membangun dengan cita-cita yang jelas. Manuju masyarakat Dayak yang sejahtera.
Tentu saja prinsip-prinsip universal yang berlaku untuk setiap kegiatan pembangunan manusia, beraku juga dalam pembangunan masyarakat Dayak. Secara khusus akan dikemukakan di sini beberapa prinsip agar pembangunan social-ekonomi bagi orang atau masyarakat Dayak tetap berakar pada dan berwawasan kebudayaan Dayak, khususnya dengan memperhatikan sikap idup mereka.
1. Prinsip demokrasi ekonomi yang menghargai harapan dan kemauan pribadi tanpa prasangka buruk serta konsisten menjalankan keputusan bersama dengan peuh tanggung jawab. Warga masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyadari dan mengenal kebutuhan-kebutuhan mereka, merencanakan bentuk-bentuk usaha ekonomis dengan musyawarah, dan melaksanakannya dengan jiwa besar.
2. Prinsip solidaritas yang memajukan pribadi di dalam dan bersama kelompoknya. Prinsip ini menghargai prestasi individu, tetapi tidak memberikan kesempatan untuk berkembangnya egoisme pribadi. Setiap warga disadarkan bahwa ia akan maju dan makmur dan bahagia apabila orang-orang disekitarnya juga demikian.
3. Prinsip subsidiaritas yang secara tekun menghargai dan menumbuhkembangkan sikap swadaya. Orang Dayak harus menyadari, bahwa mereka sendirilah yang pertama-tama harus bertanggungjawab penuh membangun masyarakatnya dengan mengandalkan segala potensi dari dalam. Antuan yang diberikan tidak boleh mematikan perikehidupan yang sudah ada.
4. Prinsip keterbukaan.masyarakat Dayak tidak memerlukan perlindungan khusus. Keterbukaan yang memberikan kesempatan bersaing secara jujur dan adil dalam usaha-usaha ekonomis, dalam jangka panjang akan menguntungkan.

Beranikah para motivator pembangunan dalam masyarakat Dayak, termasuk para pejabat pemerintah setempat, menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara konsisten? Bukankah itu berarti melawan arus masa kini?

Implikasi

Bagaimana pun cara kita memandang dan mendiskusikan pembangunan social-ekonomi bagi masyarakat Dayak, kita akhirnya akan sampai juga kepada anjuran yang sudah sangat sering disuarakan oleh para praktisi dan pakar pembangunan masyarakat desa, khususnya yang pernah melakukan pengamatan terhadap masyarakat Dayak. Anjuran-anjuran ini sekaligus merupakan implikasi logis bila mingkin memang ingin mempraktekkan pembangunan yang sudah berakar pada kebudayaan, dan kelak juga menuju masyarakat sejahtera yang semakin berbudaya tinggi.

1. Memperbesar Peranan LSM

dengan tetap percaya bahwa sikap hidup ekonomis yang sehat akan membuahkan kesejahteraan, dan bahwa kegiatan pembangunan yang sesungguhnya dari, oleh, dan untuk masyarakat kita dapat mengharapkan agar lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) mengambil pranan yang lebih besar di kalangan orang Dayak.
Pembangunan prasarana dan sarana fisik yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi akan menjadi mandul apabila tidak tidak diimbanglengkapkan dengan kegiatan-kegiatan penyadaran untuk membangun sikap hidup ekonomis yang sehat.
Dalam kegiatan pembangunan social ekonomi di kalangan orang Dayak, peran LSM ternyata masih sangat kecil. Kemitraan LSM dengan pemerintah kita harapkan secara nyata dipraktekkan, agar LSM, sesuai hakikatnya, dapat menjadi agen penyadaran, agen perubahan sikap hidup, bukan sekadar alat politis yang dimanfaatkan demi kepentingan pribadi secara sempit. Demikianlah LSM berperan mewujudnyatakan arti pembanguan dari, oleh, dan untuk mesyarakat.

2. Mengembangkan Pertanian Rakyat

Banyak penelitian mengungkapkan bahwa pertanian raykat memiliki keunggulan-keunggulan tersndiri yang apabila dikembangkan secara tepat menjadi pertanian yang tangguh. Kesungguhan mengembnagkan pertanian rakyat seperti dilakukan di beberapa Negara Asia menunjukkan bahwa pertanian rakyat ternyata bisa lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan kesejahteraan petani.
Khusus mengenai system perladangan orang Dayak (yang nama jeleknya: lading liar, lading berpindah) yang sering dituduh merusak lingkungan secara tidakadil, kita masih bisa bertanya: tidak bisakah diakui sebagai suatu system pertanian yang pantas dibina juga?

3. Mengembangkan Usaha Koperatif

Bahwa koperasi sesuai dengan sikap hidup (asli) orang Dayak, tidak perlu diragukan lagi. Dalam komunitasnya mereka senantiasa saling menyejahterakan dan tidak rela membiarkan seorang pun melarat.
Namun kesenjangan antara cita-cita dengan cerita nyata di dunia perkoperasian kita masih sangat tinggi. Kita belum berhasil mengembangkan sikap insane koperasi sejati yang melalui kumpulannya dapat saling mendidik, saling mengembangkan keswadayaan dan saling bersolidaritas. Dalam kenyataannya, koperasi masih diperlakukan lebih sebagai alat politis daripada sarana pengembangan ekonomi para anggotanya.

Penutup

Bagaimanakah gambaran kehidupan social-ekonomi orang Dayak di masa depan? Apakah para petaninya akan semakin sejahteraan atau malah akan menjadi kuli di negeri sendiri seperti kebanyakan petani petani di jawa? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya dapat dijawab oleh generasi muda Dayak melalui usaha-usaha nyata bagaimana mereka melakukan transformasi budayanya untuk mengembangkan sikap hidup “manusia Dayak modern”. Dan untuk itu tidak ada rumus yang baku.
“Masa suram” yang melanda kehidupan social-ekonomi orang Dayak selama lebih kurang 30 tahun belakangan ini, tidak perlu ditangisi. Siapa tahu segala bentuk penderitaan bisa menjadi orang Dayak semakin berbudaya.


Aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan

Konsep pembangunan desa dikalangan masyarakat Dayak dimaksudkan untuk membantu mereka dalam mengembangkan dirinya.

1. Keterikatan dengan tempat asal

Perasaan menyatu dengan tempat asal yang kental, sehingga mereka tidak gampang meninggalkan tempat asal. Adanya ikatan keluarga dan hubungan pribadi yang erat (Loyalitas primordial). Melepaskan ikatan itu tidak mudah. Bahkan tidak jarang anggota keluarga yang berkemampuan tidak rela meninggalkan orang tua atau kampong halaman untuk mengadu nasib atau meneruskan sekolah ke tempat lain.
Kondisi social seperti ini menuntut suatu kebijakan pembangunan yang khusus. Kebijakan pembangunan itu ditujukan langsung kepada mereka, yang oleh prof. Dr. Mubyarto disebut dengan “insitu development”.

2. menghargai orang lain

dengan lugu orang Dayak menghormati dan menghargai orang lain yang datang dari luar lingkungannya. Orang luar dipandang lebih mempunyai kemampuan. Lebih-lebih bila orang tersebut jelas mempunyai kelebihan dari mereka, misalnya mempunyai pendidikan tinggi atau keahlian tertentu.
Namun karena kepercayaan yang tinggi mereka menuntut kejujuran. Sikap ini memberi peluang yang besar untuk memasukkan konsep-konsep pembangunan. Akan tetapi kita harus selalu konsisten dan tetap memelihara kejujuran dan kepercayaan masyarakat. Walaupun ada keluguan, keterbukaan, san sikap menerima, masyarakat amsih ambivalen terhadap pembangunan.

3. menyatu dengan alam

sejalan dengan sejarah mereka yang bermukim di daerah-daerah pedalaman, masyarakat Dayak memenuhi kebutuhan hidup dengan cara bercocok tanam dan berburu. Sedangkan kebutuhan yang tidak dapat diadakan sendiri diperoleh dari luar, seperti pakaian, garam, gula, dan tembakau. Dua yang terakhir ini pada keadaan tertentu masih dapat diadakan sendiri. Demikian juga kebutuhan perumahan diupayakan mereka dari bahan-bahan yang tersedia di lingkungannya. Selain itu, mereka juga memiliki kepandaian menempa besi untuk membuat alat-alat pertanian, perburuan, dan lain-lain.
Walaupun kini keadaan ini sudah mulai berubah. Mereka selalu memenuhi kebutuhan mereka dari alam lingkungannya. Alam tidak dapat dilepaskan dari kehidupan mereka. Tanah, misalnya, merupakan sumber usaha, tabungan masa depan, warisan untuk keturunan, jujuran (mas kawin) dalam perkawinan, dan lain-lain. Hal ini dapat kita kaji sebagai berikut.

a) Mereka sangat berkepentingan untuk memelihara alam sekitarnya. Misalnya dengan masa bera (rotasi) dalam berladang, tidak menebang pohon besar tempat persinggahan atau bersarangnya lebah madu. Kalau akan membakar lading sebelumnya harus di “landa” (bahasa daerah, membersihkan areal yang akan dibakar agar api tidak menjalar keluar lading). Naluri selalu bertanam-tanam dimana saja dan anak atau cucu sejak kecil disuruh tanam-tanaman sehingga jika dewasa dapat memetik hasilnya dari tanaman tersebut. Kebiasaan dan naluri ini perlu dikembangkan dan diatur untuk meningkatkan intensitas daya oleh kegiatan.
b) Sejak lama kelompok masyarakat Kampung mempunyai hak menguasai areal di sekitarnya. Sehingga dalam mengusahakannya (membuka lahan) dimusyawarahkan di antara mereka. Hak bersama ini sebagai hak ulayat yang dalam perkembanganya semakin kurang diperhatikan. Hal ini karena telah dikuasai secara perseorangan, masuk dalam areal pengusahaan badan tertentu, adanya ketentuan pengaturan baru hak ulayat itu sendiri sejak awal tidak melembaga secara dominant. Karena demikian menyatunya rakyat dengan tanah maka program pembangunan perlu mengantisipasi pandangan masyarakat itu. Antara lain menunjang, memelihara ikatan batin mereka dengan tanah. Dr. Masri Singarimbun mengatakan bahwa hak ulayat kelompok masyarakat perlu mendapat perhatian keberadaannya.

4. tidak menampilkan sikap agresif

mungkin karena alam lingkungan yang memberikan suasana ketenangan, tempat pemukiman yang nyaris selalu sepi. Biasanya kesepian dipecahkan oleh suara pandai besi atau suara anjing, ataupun gemercik air menuju muara. Kemungkinan itu melahirkan sikap warga yang juga bersikap tenang, yang terbawa hingga pada pertumbuhan berikutnya. Terdapat keadaan seperti selalu tenang-tenang saja bila ada sesuatu yang disajikan kepada mereka tetap ada. Jadi tidak menampilkan sikap agresif. Keadaan ini memerlukan upaya intensif dalam menginteroduksikan sesuatu program bagi mereka. Jadi langkah yang ditempuh perlu melalui kelompok-kelompok kecil atau pun tatap muka dan akan lebih efektif melalui contoh.

5. kebiasaan berladang

kegiatan berladang merupakankebiasaan yang tidak dapat dipisahkan dari orang Dayak. Hal ini tentu karena sejak semula alam yang memberikan peluang untuk itu. Dan memang kegiatan berladang adalah kegiatan pokok bahkan tidak lepas dari keseharian-harian mereka disamping usaha-usaha lain yang pada dasarnya masih berkaitan dengan pengolahan tanah dan alam sekitar. Bahkan bila ada profesi lain pun tidak jarang mereka tetap menekuni kegiatan berladang.
Karena kegiatan berladang telah sedemikian rupa maka kegiatan ini perlu terus dibina hingga:
- Produktivitas memadai sebagai jaminan hidup keluarga (taraf hidup meningkat) sehingga memberikan kontribusi dalam peningkatan produksi besar nasional.
- Hilangnya pandangan bahwa berladang selalu dalam konotasi negative.
- Melalui system yang baik, turut melestarikan alam lingkungan/hutan dan kawasan hutan perpelihara.

Membina peladang harus dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan pembangunan. Masyarakat Dayak dengan keterbatasan mereka sangat mengharapkan uluran tangan untuk pembinaan itu.
Di Barito Utara ada program “perladangan menetap” sebagai salah satu dari tiga program daerah. Program ini telah memasuki tahun IV dan telah menunjukkan gejala yang positif. Prof. Dr. Mubyarto menyatakan bahwa pembinaan peladangan sebagai kebijaksanaan in situ development di Barito Utara sudah berhasil dilaksanakan (hemat kami penilaian ini mengandung tanggung jawab yang lebih besar karena tantangan masih sangat banyak).

6. dilanda keterbatasan

Kondisi yang melingkungi kehidupan masyarakat Dayak adalah keterbatasan sarana, prasarana, arus informasi, dana, transformasi maupun jenis barang-barang kebutuhan, sehingga melahirkan keterpencilan, tingkat kehidupan yang relative rendah dan lemah. Masyarakat pedalaman ini sangat sulit keluar dari kemelut itu. Sudah pasti harapan mereka ingin lebih maju. Untk itu perlu langkah-langkah:
a) memeprkenalkan kebutuhan (proses pembudayaan) untuk pada gilirannya harus mengenal potensi yang ada pada mereka. Dan pada giliran berikutnya lagi mereka harus didorong untuk memperjuangkan pemenuhan kebutuhan mereka.
b) Memperkenalkan factor input dan output dalam kegiatan usaha dan produksi serta memperkenalkan pembagian waktu dan irama penggunaan waktu yang efekrif.
c) Keterbatasan sarana dan prasarana sangat didambakan untuk diatasi. Mereka mengetahui orang kota sudah mengalami kemajuan di bidang ini. Karena itu perlu intensitas pengembangan sarana dan prasarana di pedalaman. Perbaikan kampong di kota telah dilakukan secara memadai. Di pedesaan perlu dilakukan lebih gencar lagi.

7. adanya aspek magi

di sementara kehidupan masyarakat Dayak masih ada pandangan bersifat magi. Ada tata cara tertentu atau waktu tertentu ataupun tempat tertentu yang dikaitkan dengan magi. Suatu hal itu diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi alam pikira atau tingkah laku seseorang.
Keadaan ini menjadi suatu syarat atau mempengaruhi tata cara kehidupan. Sebagai syarat kelangsungan atau keberhasilan, sebaliknya sebagai ancaman yang dapat menimbulkan malapetaka bila tidak dipatuhi. Masyarakat memandang aspek magi ini harus dihargai dengan sikap hati-hati dalam kiprah pembinaan pembangunan bagi mereka. Dan aspek magi sebagai pertumbuhan dan social budaya masyarakat dapat diamggap sebagai supra system dari system yang berlaku itu.
Dengan demikian aspek magi ini sebagai factor ekologi dari system yang berlaku. Dengan demikian perlu dikembangkan aspek-aspek dari ekologi itu yang dapat menunjang atau memperlancar upaya pembinaan dan pengembangan masyarakat dan wilayah. Maka diperlukan kemampuan persepsi untuk menentukan konsep-konsep yang releven dari factor ekologi untuk memperlancar pembinaan dan pembangunan masyarakat.

8. aneka agama

dalam sejarahnya orang Dayak menganut agama lama seperti kaharingan yang sekarang sebagai agama hindu kaharingan. Memang agama ini tetap dianut oleh sebagian orang Dayak. Selain itu, ada juga yang menganut agama Katolik, Kristen Protestan, dan Islam.
Dengan adanya keragaman ini tentu semua penganut mempunyai hak pembinaan. Sebaliknya dalam hal pelaksanaan kegiatan di lingkungan mereka keragaman agama yang dianut harus diperhitungkan.

9. konsep rumah panjang seni budaya dan peranan wanita

Dalam peningkatan taraf hidup dikaitkan dengan budaya orang Dayak, Dr. Fredolin Ukur mengutarakan beberapa pemikiran:
(a) semangat rumah panjang, yaitu topang menopang, memelihara dan meningkatkan kesejahteraan bersama, merasa memiliki bersama dan sebab itu merasa ikut bertanggung jawab, tidak membiarkan salah satu warga sengsara sedang yang lain sejahtera. (b) mengangkat budaya seni yang dimiliki untuk memberi sumbangan sebagai sumber penghasilan. (c) memelihara dan meningkatkan peranan wanita. Di kalangan orang Dayak kedudukan wanita sama dengan pria. Jadi potensi wanita demikian besar sehingga dapat diisi dengan keterampilan untuk menambah sumber pendapatan.

Penutup
Kelompok warga Negara yang masih belum menikmati hasil pembangunan makin mendapat perhatian. Masyarakat yang mendiami daratan Pulau Kalimantan, terutama orang Dayak, karena keadaan yang melingkupinya adalah tapat untuk mendapat perhatian yang lebih tajam, khususnya sebagai upaya untuk memperoleh ketepatan cara atau system dalam proses pembangunannya.
Untuk memperoleh konsep-konsep yang tepat tentu bukan hal yang mudah. Lebih-lebih adanya keragaman social budaya di antara orang-orang Dayak yang berada pada wilayah yang luas, masih terisolasi.
Namun demikian, model yang digambarkan yang meliputi wilayah bagian utara dari aliran Sungai Barito dan dari lingkup pengalaman pada sedikit daerah di luar kiranya tidak jauh berada dengan permasalahan atau keadaan yang ada pada wilayah pedalaman Kalimantan lainnya. Bahkan wilayah diluar sekalipun. Atau pun sebagai sumbangan dalam membahas isu yangs edang dipermasalahkan ini walaupun sebagai sumbangan yang kecil.
Besar harapan dengan intensitas pembahasan yang makin tinggi terhadap permasalahan yangs edang disoroti ini dapat lagi bagi mereka dan self mstaning lebih cepat untuk mengejar ketertinggalannya.

Read More..

Kehidupan Masyarakat Adat yang Terancam

Oleh; Sunawar Owat
Jauh sebelum Negara ini ada, masyarakat adat sudah lama mengelola hak mereka atas tanah, hutan dan segala isi yang ada terkandung didalam bumi atau tempat mereka tinggal. Masyarakat sudah propesioal megelola alam dengan baik, sehingga alam semesta bisa bersahabat dengan masyakat adat. Setelah Indonesia ini di Proklamasikan, dan bangsa Indonesia menyatakan dirinya meredeka, sejak itulah keberadaan masyarakat adat mulai terganggu kehidupannya. Dan setelah adanya perubahan rezim keberadaan masyarakat bukannya membaik bahkan semakin terpingirkan keberadaannya, dan malah sebagian dari hakmasyarakat adat dirampas oleh pemerintah pada zaman itu.

Saya merasa heran dengan prilaku pemerintah baik pada zaman dulu maupun sekarang ini, pemerintah selalu mencaplok tanah adat sebagai tanah Negara,hutan Negara, jadi dimana tanah adat? Secara tidak sengaja pemerintah telah berpartisifasi untuk pemusnahan hak-hak adat. Memang Negara menaungi semua wilayah yang termasuk di dalam pemerintahannya, itu memnag sudah hak dan kewajiban Pemerintah. Tetapi bukan menghapus segala hak masyarakat adat yang sudah sejak lama mereka kelola dengan baik.

Sekarang ini, keberadaan masyarakat adat sangat terancam keberadaannya, karena semakin maraknya perkebunan-perkebunan di seluruh plosak tanah air ini pada umunya. Alasan pemerintah baik itu pusat dan daerah, membuka perkebunan berskala besar adalah demi meningkatkan pendapatan negara, pendapatan daerah dan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pribahasa dan istilah-istilah seperti ini sudah sering kalai menjadi alasan pemerintah. Dan kalau kita mu jujur ini semua bukanlah demi kesejahteraan masyarakat melainkan demi kesejahteraan orang-orang yang besar saja.

Kalau hal ini terus berjalan dan semakin meluas saya yakin keberadan masyarakat adat dan adat istiada yang selama ini di yakini dan ditaati oleh masyarakat adat akan hilang dan mungkin hanya tinggal kenangan di masa lalau di masa depan.

Sebenarnya kalau kita melihata kehidupan masyarakat adat dan adat istiadat ini sangat mungkin kita pertahankan dan dikembangkan dikarenakan didalamnya mengakomodir segala tatanan kehidupan dan perilaku manusia.

Adat merujuk pada kepercayaan, hak dan tanggung jawab budaya, hokum dan pengadilan adat, praktet-praktek adat, dan lembaga mendirikan yang dimiliki oleh sebuah kelompok adat sebelum digabungkan dalam pemerintahan kolonial atau sesudah kolnial. Aspek khusus adat adalah wilayah yang berada satu dengan lainnya serta dapat beradaptasi dengan situasi baru seiring perkembangan jaman.

Ketika penjajahan bangsa Eropa (contoh Belanda di Indonesia) menggabungkan sebuah wilayah, mereka umumnya mengizinkan sistem nilai yang telah ada itu (adat) untuk terus berlanjut sampai pemerintahan memuat lembaga baru untuk menggantikannya. Konflik-konflik penguasa baru dengan sistem yang telah ada sebelumnya makin memanas dengan berlalunya waktu. Dan ketika konflik antar sistem lama dengan sistem baru memuncak, pemerintahan yang berkuasa dapat secara pormal menghancurkan hak-ahak adar itu. Ketika Indonesia bebas dari penjajahan kolonial Belanda, Pemerintah Indonesia yang baru melanjutkan kebijakan Belanda dalam hal pengakuan atas adat, tetapi hanya jika adat itu tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintahan.

Istilah “adat” digunakan sebagai kaa benda dan kata sifat. Adat mensahkan secara hukum untuk berindak. Adat mengatur hubungan tubgah laku antar individu, dalam dan luar keluarga, masyarakat dan pendatang/orang luar. Adat juga mengatur hubungan antara manusia dengan alam, dan alam dilihat sebagai sebuah pelaku aktif dalam hubungan tersebut. Menjalankan adat artinya melakukan tindakan ritual adat, seperti doa dan persembahan saat persiapan sebuah lahan (pertanian) baru yang belum diolah.

Adat merupakan hukum adat. Denda adat dikenakan kepada mereka yang melanggar hukum adat, termasuk pendatang/orang luar. Ada kalanya pemerintah mengakui keberadan adat dengan cukup serius. Contohnya, Kepala Dinas Perkebunan Kalbar (orang non Dayak) yang dihukum adat karena dia secara terbuka menuduh peladang berpindah suku Dayaklah yang meyebabkan kebakaran besar pada tahun 1997. ia dihukum adat capa molot (fitnah). Dalam kasusus ini, aparat keamanan mendukung adat itu, memfasilitasi acara sidang adat dan memastikan bahwayang diadili membayar hukum adat.

Sebuah komunitas yang terikat oleh adat disebut masyarakat adat Musyawarah adat merupakan pertemuan yang didasari oleh kesepakatan bersama yang diluar adat. Hukum adat yang baru serta prosesnya dapat diciptakan dalam musyawarah adat.

Wilayah adat adalah wilayah masyarakat adat yang bersangkutan. Masalah yang menimbulkan koflik terbesar antar pemerintah dengan adat adalah hubungan alam dengan manusia, terutama hak pengunaan dan penguasaan lahan. Dalam masyarakat adati Indonesia, lahan/tanah yang dimiliki secara pribadisangat sedikit prosentasinya. Sebagian besar hutan dan sungai dimiliki secara kolektif oleh seluruh masyarkat adat berdasarkan adat. Konflik muncul ketika pemerintah menempatkan para pemilik izin untuk perkebunan atau penebangan hutan di tanah adat; tanah dimanahutan sekitarnya telah dikelola masyrakat adat sebagai sumber penghidupan, mata pencaharian masyarakat adat.

Read More..