Minggu, 25 Mei 2008
Oleh; Thomas Apon
Deskripsi Singkat mengenai Sunge Banokng
Geografi
Sunge Banokng merupakan kampung kecil di Desa Menjalin, Kecamatan Menjalin. Kampung ini merupakan bagian dari Dusun Menjalin hilir dan terdiri dari 3 Rukun Tetangga (RT) yaitu RT 04, RT 05 dan RT 06. Kampung ini cukup mudah dicapai karena terletak di tepi jalan Pontianak—Menjalin. Jarak dari Pontianak ke kampung ini kurang lebih 91 kilometer.
Dalam sejarahnya, nama Sunge Banokng berasal dari tumbuhnya pohon-pohon banokng (sejenis pohon kayu) di sepanjang tepi sungai (sunge) yang dilihat oleh orang-orang yang mula-mula membuka kampong ini. Kampung ini dilalui sungai yang cukup besar, Sungai Mempawah. Selain Sungai Mempawah terdapat sungai-sungai kecil yang bermuara di sungai besar ini, yakni Sungai Seboro, yang menandai batas kampung ini dengan Menjalin Hilir dan Sungai Nyimpat yang bermata air di Bukit Samabue. Bukit Samabue terdapat di dalam wilayah kampung ini, selain sebagai sumber mata air juga (hingga sementara ini) merupakan daerah berhutan dengan pohon-pohon kayu yang masih bisa dimanfaatkan. Sungai Nyimpat memasok kebutuhan air bersih warga Kampung Sunge Banokng. Di bagian hulu, di kaki bukit, sungai ini dibendung dan airnya dialirkan melalui pipa-pipa PVC (paralon) ke rumah-rumah penduduk.
Kampung ini termasuk ke dalam kategori daerah rural dengan kegiatan pertanian lebih menonjol. Hal itu dapat dilihat dari pemanfaatan lahan sbb .
Jenis Pemanfaatan Luas (Ha)
Pemukiman 5, 44
Sawah 85,65
Udas (Hutan Reservasi Komunitas) 30,29
Kebun Karet 129,34
Bawas (Land Banking) 44,47
Kompokng Timawakng 6.44
Etnisitas Penduduk, Sejarah
Hingga tahun 1967 Sunge Banokng merupakan kawasan pertanian (farm) komunitas Tionghoa. Diperkirakan komunitas Tionghoa di Sunge Banokng berasal dari Mandor dan Monterado yang menyebar untuk mencari tanah pertanian setelah tambang emas tempat mereka bekerja di kedua tempat tersebut ditutup pada dekade ke-dua abad ke duapuluh. (pada tahun 1854-1856 dan 1914-1916 enklave-enklave komunitas Tionghoa yang awalnya adalah para pekerja tambang emas mencoba memerdekakan diri dari pengaruh politik kesultanan dan Belanda; usaha-usaha ini memicu perang segitiga Kesultanan Melayu dan Belanda melawan kekuatan Tionghoa; ketika kekuatan politik Tionghoa dilumpuhkan, warganya menyebar ke berbagai tempat untuk menjalani hidup sebagai petani) . Beberapa waktu setelah Perang Dunia ke II, kemenangan Mao Tse Tung (Mao Xedong) atas kaum Nasionalis pimpinan Chiang Kai Sek di daratan Cina, mendorong penyebaran pengaruh ideologi komunis ke seluruh dunia tidak terkecuali Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat pengaruh ini terutama menjalar melalui komunitas-komunitas Tiongho, termasuk komunitas Tionghoa Sunge Banokng.
Karena dianggap ancaman serius, Pemerintahan Orde Baru memutuskan untuk menumpas gerakan ini. Pada tahun 1967 dijalankan skenario penumpasan gerakan PGRS/PARAKU yang terkenal itu. Komunitas Tionghoa yang berada di pedalaman “digiring” mendekati Pontianak supaya mudah disusupi inteljen untuk mengetahui apa yang terjadi dalam komunitas-komunitas itu sehubungan dengan kecurigaan terhadap kaum komunis . Di Sunge Banokng, Bukit Samabue dicurigai sebagai persembunyian para pegiat komunis yang mendapat pasokan perbekalan dari komunitas Sunge Banokng. Ansar Rahman, sebagaimana dikutip oleh Bambang Hendarta Suta Purwana melukiskan:
…dikarenakan jumlah personel TNI tidak cukup untuk melakukan pengejaran terhadap tersangka tokoh dan anggota PARAKU serta PGRS yang mayoritas etnis Tionghoa. Dimunculkan isu bahwa Dayak dibunuh oleh orang Tionghoa. Ini kemudian menghidupkan kembali tradisi mengayau untuk mengejar dan menyingkirkan etnis Tionghoa dari wilayah Kalbar. Ketika isu masuk dan masyarakat Dayak terprovokasi isu tersebut, maka masyarakat Dayaklah yang kemudian mengejar dan mengayau etnis Tionghoa…
Peristiwa tahun 1967 berakibat pada kosongnya Kampung Sunge Banokng karena warganya (komunitas Tionghoa) masuk ke kamp-kamp pengungsian di Pontianak dan tempat-tempat lain. Berangsur-angsur terjadi pemindahan pemilikan lahan di kampung tersebut. Ada sebagian lahan yang diberikan oleh keluarga-keluarga Tionghoa yang memilikinya diserahkan kepada orang-orang yang tinggal di kampung-kampung sekitar; ada yang dititipkan untuk dijual; ada yang tidak sempat diurus sehingga kemudian diambil begitu saja oleh orang-orang di sekitar kampung tersebut.
Pada saat Sunge Banokng menjadi tanah pertaniannya komunitas Tionghoa, terdapat 3 orang Melayu dan 5 orang Madura yang menjadi pekerja (penyadap karet, dsb) di tanah pertanian orang-orang Tonghoa ini. Pada peristiwa 1967 ke-8 orang ini mendapat dan/atau membeli lahan
(sawah/kebun karet/) dari majikannya. Orang-orang inilah yang menjadi cikal bakal komunitas Melayu (sekarang 16 keluarga), komunitas Madura (sebelum tahun 1983 terdapat 20 keluarga di kampung ini). Pada masa ini juga ada satu keluarga orang Jawa yang mulanya adalah peserta proyek transmigrasi di Kampung Lonjengan (1965) yang mengambil menantu seorang laki-laki Melayu Sunge Banokng yang akhirnya juga bergabung untuk mengadu nasib di Sunge Banokng. Keluarga ini kemudian menjadi petani yang cukup berhasil di Sunge Banokng hingga sekarang. Saat ini jumlah keluarga dari etnis Jawa ada 20. Keluarga-keluarga ini datangnya tidak bersamaan dan dari berbagai jalur. Di antara mereka ada yang berprofesi pegawai negeri (staf kecamatan, petugas lapangan dari Dinas Pertanian), guru, anggota militer dan pedagang selain petani yang telah disebutkan tadi. Orang-orang Dayak yang datang untuk bertempat tinggal di kampung ini mula-mula hanya 12 orang. Mereka ini berasal dari kampung yang berbeda-beda: Marinso (3 orang), Saledok (1 orang), Paladis Kaca’ (2 orang), Nyawan (1 orang), Batukng Tanjukng (1 orang), Tengkuning (2 orang) dan Salore (2 orang). Kampung-kampung ini rata-rata cukup jauh letaknya dari Sunge Banokng (10 – 20 km). Setelah tahun 1986 jumlah keluarga dari etnis Dayak yang pindah ke kampung ini semakin banyak. Pada tahun 1986, lapangan terbang yang dibangun oleh Gereja PPIK (Persekutuan Pemberitaan Injil Kristus) pada jaman “penyebaran agama” pada awal tahun 1970an tidak difungsikan lagi. Tanah ini dikapling-kapling oleh pengurus gereja untuk dijual. Banyak orang dari berbagai kampung membeli tanah kaplingan ini dan menetap di kampung ini. Sejak saat ini pertambahan jumlah keluarga Dayak cukup pesat. Hingga saat ini terdapat 191 keluarga. Orang Dayak yang tinggal di Sunge Banokng juga mempunyai berbagai profesi: PNS dari berbagai departemen/dinas, guru, pedagang (mempunyai toko di Pasar Menjalin) dan petani. Namun secara keseluruhan, hampir semua orang di kampung ini mempunyai pekerjaan sambilan yang berkaitan dengan pertanian/peternakan: bersawah, menanam sayuran di pekarangan, pelihara ternak, dsb.
Warga Sunge Banokng (dari etnis Dayak maupun Melayu dan Jawa) tidak pernah mempunyai masalah dengan warga Madura. Namun, pada setiap peristiwa kekerasan yang melibatkan kelompok Dayak vis-à-vis Madura, mereka pada umumnya merasa terancam terhadap serangan yang mungkin dilakukan oleh orang dari luar kampung. Dalam situasi seperti ini sangat tidak masuk akal juga untuk mengharapkan warga yang lain untuk menjaga warga Madura terhadap kemungkinan serangan dari kampung lain. Yang dapat dilakukan oleh warga adalah menasihatkan warga Madura untuk cepat-cepat mencari tempat berlindung. Hal ini terjadi paling tidak 5 kali sejak tahun 1970an. Setiap kali ada peristiwa perkelahian antara Dayak—Madura, orang-orang Madura Sunge Banokng pergi mengungsi. Dan setiap ada pengungsian, tidak semua kembali ke Sunge Banokng. Sebelum tahun 1997 tinggal 5 keluarga yang tetap tinggal di Sunge Banokng. Setelah peristiwa 1997 tidak ada lagi keluarga Madura yang kembali ke Sunge Banokng. Mereka kemudian menjual tanah mereka ke orang-orang setempat .
Komunitas Sunge Banokng dan Organisasi-organisasi Warga
A. Sunge Banokng sebagai Kampung Baru
Sunge Banokng merupakan kampung baru. Masyarakatnya merupakan masyarakat baru. “Baru” bagi kampong Sunge Banokng bukan hanya dalam arti tahun mulai terbentuknya kampong ini, yakni sekitar tahun 1967. Komunitas Sunge Banokng merupakan masyarakat baru juga dalam arti mereka bukan satu kelompok masyarakat yang anggota-anggotanya saling memiliki hubungan keluarga dan merupakan bagian dari suatu pohon silsilah, yang mempunyai sejarah yang sama, melainkan masyarakat ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari kampong-kampung di sekitar maupun dari berbagai tempat lain yang jauh, bahkan dari luar pulau. Istilah baru di sini dimaksudkan juga untuk membedakan situasi cultural masyarakat Sunge Banokng yang berbeda dari “kampong tradisional” yang dicirikan dengan antara lain penduduk memiliki kesejarahan yang sama. Khusus mengenai kampong-kampung Dayak, salah satu cirri kampong tradisional ini adalah hadirnya “timawakng” sebagai salah satu simpul kesejarahan kampong.
B. Kepengurusan Adat
Meskipun kampung ini adalah kampung baru, namun kultur yang melingkungi kampung ini adalah kultur Dayak. Selain karena mayoritas penduduknya adalah dari etnis Dayak (191 keluarga berbanding 20 keluraga Jawa dan 16 keluarga Melayu) kampung ini terletak di tengah-tengah wilayah dengan kultur Dayak yang sangat menonjol. Masyarakat Dayak Ba’ahe yang mendiami kampung-kampung di sekitar Sunge Banokng ini mempunyai kewilayahan sosio-politik yang dinamakan binua. Di dalam sebuah binua terdapat struktur sosial di mana ada orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi sosial politik yang dipimpin oleh seorang timanggong. Secara kewilayahan binua terdiri dari kampung-kampung. Di setiap kampung juga terdapat orang-orang yang menjalankan fungsi sosial politik kampung yang sebenarnya ikatannya dengan Binua sebenarnya merupakan ikatan “ancestral”.(karena mempunyai nenek moyang yang sama). Sebenarnya sebuah binua adalah suatu wilayah di mana masyarakat Dayak Ba’ahe mensinkronkan wilayah-wilayah dalam kehidupan manusia di mana terdapat rejeki, nasib dan peruntungan dan usaha di satu pihak dan tuntutan moral, nilai-nilai di lain pihak dengan cara-cara mengelola alam. Mereka percaya bahwa jika tidak ada keseimbangan antara moral manusia dengan usaha mengelola alam, alam akan memberi sanksi dalam bentuk kesialan . Konsep ini yang ada di dalam “klaim” bahwa Sunge Banokng merupakan bagian dari Binua Lumut Ilir.
Secara garis keturunan, memang orang-orang di Sunge Banokng tidak bisa dikatakan satu nenek moyang dengan orang-orang di kampung-kampung lain di Binua Lumut Ilir. Hanya aspek geografi saja yang mendekatkan Sunge Banokng dengan binua ini. Namun ini sebenarnya tidak menjadi persoalan bagi masyarakat Sunge Banokng, walaupun toh di tahun 1978 Sunge Banokng dan Menjalin (daerah pasar/kota) dijadikan binua tersendiri, yaitu Binua Manjalin
Pada tahun 1998 orang-orang muda yang progresif melihat bahwa para pejabat dalam struktur adat, terutama yang mengemban tugas dan fungsi yang langsung berhubungan dengan persoalan Kampung Sunge Banokng tidak efektif. Mereka mengusulkan dibentuknya kepengurusan yang baru karena ketidakefektifan kepengurusan yang ada ini lebih karena faktor usia lanjut para pemegang fungsi ini. Usulan ini diterima.
Pembaruan kepengurusan adat ini hanya dibatasi untuk tingkat kampung. Karena, bagaimanapun, masyarakat di binua percaya bahwa di tingkat binua tidak boleh ada pemilihan pemimpin binua (timanggong) jika yang bersangkutan masih hidup. Yang menarik dari pembaruan kepengurusan adat di Kampung Sunge Banokng ini adalah, pertama “jabatan-jabatan” kepengurusan yang ditawarkan untuk dipilih orang-orangnya adalah jabatan-jabatan yang fungsi-fungsinya sesuai dengan kebutuhan kampung. Sebagai kampung yang punya karakteristik rural; di mana penduduk baik yang berprofesi petani maupun bukan mempunyai keterkaitan dengan pertanian atau kegiatan bercocok tanam, jabatan atau fungsi tuha tahutn, yaitu pengurus yang membidangi soal pertanian, adalah yang diutamakan. Selain tuha tahutn, yang dipilih adalah panyanakng kalangkakng (pembantu tuha tahutn dalam hal memimpin ritual—untuk tujuan kegiatan pertanian), pangalangok kampokng (fungsinya ditransformasikan dari panglima perang menjadi pengerah masyarakat jika terjadi wabah, huru-hara, kerusuhan dan sejenisnya), dan pangarah kampokng laki bini (yang laki-laki bertugas untuk menyebarkan informasi jika ada warga yang sakit, meninggal atau jika ada pesta; yang perempuan bertugas untuk mengelola soal masak-memasak jika ada peristiwa seperti disebut terdahulu). Yang kedua, pemilihan kepengurusan ini inklusif. Meskipun judulnya pengurus adat, namun sebenarnya semua adalah pengurus “kampung”. Jadi siapa saja yang mempunyai kemampuan mengurus kampung mesti diberi kepercayaan untuk menjalankan kepengurusan ini. Dalam hal ini fungsi pangarah kampokng laki-bini adalah jabatan yang paling banyak personelnya, karena tiap RT atau “kelompok” mesti mempunyai pangarah. Majelis Taklim merupakan suatu kelompok yang cukup banyak anggotanya dan “signifikan” dalam sejarah Kampung Sunge Banokng. Maka Majelis Taklim inipun mesti mempunyai seorang pangarah.
B. Majelis Taklim
Majelis taklim merupakan perkumpulan dengan tujuan religius untuk umat Islam di kampung tersebut. Karena kebetulan di kampung tersebut yang beragama Islam adalah orang-orang Jawa dan orang-orang Melayu maka anggota Majelis Taklim ini adalah orang Jawa dan Melayu.
Selain melakukan pendalaman iman (lewat pengajian) perkumpulan ini juga merupakan wadah bagi para anggotanya untuk bisa bertemu, berbagi cerita, berbagi ide.
C. Koperasi Ngudi Makmur
Sebagaimana tersurat dalam namanya, koperasi ini diinisiasikan oleh orang-orang Jawa. Sebagian anggotanya adalah juga anggota dan pengurus Majelis Taklim. Sebagian lain anggota merupakan aktivis gereja (Katolik dan Protestan). Tujuannya adalah pemberdayaan ekonomi anggota. Walaupun namanya sangat Jawa, koperasi ini untuk siapa saja. Pada awal pembentukannya sebenarnya jumlah anggota yang orang Jawa kurang lebih sama dengan anggota yang orang Dayak. Namun kemudian anggota-anggota orang Dayak banyak yang Keluar. Para pengurus koperasi ini menduga, kemungkinan besar tidak bertahannya orang-orang Dayak di koperasi ini adalah karena nama yang sangat Jawa ini.
D. Sule Binua
Sule Binua merupakan sebuah organisasi yang dimaksudkan untuk pemberdayaan bukan hanya anggota-anggotanya namun juga seluruh masyarakat Sunge Banokng. Sule Binua memulai aktivitasnya dengan koperasi.
Koperasi Sule Binua mengalami kemajuan yang cukup berarti. Dimulai dengan belasan orang anggota, koperasi ini mencatat 38 anggota dan mengumpulkan aset sebesar 10 juta rupiah dalam usianya yang satu tahun. Hal lain yang menarik adalah bahwa para pengurus Ngudi Makmur dengan senang hati menjadi pengurus Koperasi Sule Binua sekaligus pengurus organisasi Sule Binua. Dan ini bukan sesuatu yang kebetulan. Para pengurus Ngudi Makmur menyadari bahwa, bagaimanapun, Ngudi Makmur tidak akan menarik warga Sunge Banokng non-Jawa. Pengurus-pengurus ini sebenarnya merindukan juga munculnya organisasi dengan nama lokal. Mereka juga sadar bahwa tentu bukan mereka yang akan memunculkan organisasi dengan nama lokal tersebut. Oleh sebab itu mereka menunggu dan ketika Sule Binua muncul mereka dengan senang hati bergabung.
Namun Sule Binua tidak identik dengan koperasi saja dan agendanya tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan peningkatan ekonomi. Sule Binua ternyata juga menjadi paying bagi kelompok-kelompok tani yang ada di Sunge Banokng. Ada 3 kelompok tani di kampung ini, yakni Aksi Muda I dan Aksi Muda II serta Sinar Pagi. Karena para pengurus kelompok tani ini juga anggota Koperasi Sule Binua sekaligus pengurus Organisasi Sule Binua, mereka biasa bertemu dalam forum Sule Binua dan membahas berbagai persoalan, termasuk persoalan-persoalan internal kelompok tani, di forum ini.
Para pengurus organisasi ini menginkan organisasi ini sebagai motor gerakan orang Sunge Banokng. Saat ini organisasi ini sedang memulai “gerakan bertani dengan efisien dan efektif”. Dan ini dimulai dengan kegiatan-kegiatan sederhana namun nantinya akan memberi hasil yang nampak sekaligus juga mempunyai nilai pendidikan bagi tradisi pertanian baru namun “kontekstual”. Namun mimpi para pengurusnya adalah bagaimana nantinya mentransformasikan gerakan di bidang pertanian ini menuju kegiatan-kegiatan yang mempunyai nilai ekologis, seperti pengembalian fungsi Bukit Samabue yang sekarang dalam kondisi yang hampir parah.
Bagaimana Kelompok-kelompok Etnis di Sunge Banokng Mengelola Relasi Sosial Mereka
Dari uraian di bagian terdahulu nampak bagaimana warga kampung ini tanpa henti-hentinya membentuk dan membentuk kembali organisasi-organisasi. Nampak juga bagaimana perbedaan kultural tidak membuat mereka kaku di dalam bergaul satu sama lain, yang dinampakkan dalam keragaman asal-usul di dalam keanggotaan maupun kepengurusan organisasi-organisasi. Mengapa hal seperti ini terjadi.
Di bagian awal tulisan ini diungkapkan bahwa kampung ini kampung baru. Berbeda dengan kampung tradisional yang warganya pada umumnya merupakan anggota satu “keluarga besar” karena memiliki garis keturunan yang sama, hampir semua warga Sunge Banokng adalah “orang lain bagi tetangganya”. Hal ini ternyata besar pengaruhnya di dalam membangun dasar-dasar relasi. Keluarga-keluarga di kampung ini terbiasa mempunyai tetangga yang adalah “orang lain”. Secara otomatis, hampir setiap saat keluarga-keluarga ini harus memikirkan strategi untuk ber-relasi secara baik dengan tetangga-tetangganya. Sebab tanpa strategi seperti ini, satu keluarga atau seseorang akan mengalami banyak “kerugian sosial”. Bila relasi dengan tetangga tidak baik, misalnya seseorang akan malu untuk minta bantuan pada tetangganya ketika membutuhkan. Padahal dalam kehidupan manusia, selalu saja ada saat di mana dia memerlukan bantuan orang lain, apapun bentuknya.
Faktor lain yang mendukung hidupnya dinamika berorganisasi ini adalah kenyataan bahwa di kampung ini jumlah warga yang mempunyai wawasan yang cukup luas cukup banyak. Wawasan luas ini tidak hanya karena latar belakang pendidikan semata. Orang-orang yang telah mengenal daerah-daerah lain selain daerahnya sendiri berkecenderungan mempunyai wawasan yang luas.
Di forum Sule Binua hal di atas nampak. Memang pengurus Sule Binua hampir semua mempunyai latar belakang pendidikan SLTA ke atas. Sekitar 10 persen pengurus berpendidikan perguruan tinggi (S1 dan D3/D4). Namun pengurus yang juga petani dan berlpendidikan SLTP tidak juga kalah dalam mewarnai dan memberi sumbangan terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Meskipun jumlah orang-orang seperti ini hanya kira-kira 20 persen dari jumlah keseluruhan penduduk namun apa yang mereka lakukan mempengaruhi “psikologi sosial” keseluruhan penduduk.
Hadirnya organisasi-organisasi secara keseluruhan mencerminkan bahwa masyarakat kampung ini telah mampu menuangkan dasar relasi antar individu yang bersifat “rasional” ini untuk tujuan-tujuan sosial (yang melibatkan orang banyak). Pemilihan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi “forum” Sule Binua menunjukkan sikap mengakomodasi perbedaan. Padahal Bahasa Ba’ahe dapat saja digunakan karena orang-orang Melayu dan Jawa di kampung ini toh sudah semua memahaminya.
Pemanfaatan organisasi-organisasi sebagai tempat pemecahan masalah bersama nampak dalamkisah-kisah berikut:
o Pada tahun 1998 orang-orang muda di kampung ini mengusulkan penyegaran kepengurusan institusi sosiopolitik lokal . Penyegaran pengurus ini dilaksanakan untuk tingkat kampung; kepengurusan yang akan diganti adalah tingkatan tuha tahutn ke bawah. Posisi yang paling bersifat umum di dalam tradisi kampung ini adalah posisi pangarah. Pangarah merupakan pengorganisir di tingkat komunitas terkecil (setingkat RT). Karena di Sunge Banokng terdapat kelompok-kelompok etnis dan religi, pemilihan pangarah selain berdasarkan RT juga berdasarkan adanya kelompok ini. dengan ini, kelompok Majelis Taklim mempunyai seorang pangarah yakni ketua Majelis tersebut. Secara internal dia adalah ketua Majelis Taklim sementara dalam hubungan dengan struktur sosiopolitik kampung dia adalah seorang pangarah yang secara khusus bertanggungjawab atas perihal Majelis Taklim.
o Pada tahun 2000—2001 ketika Undang-undang 22/1999 mulai diberlakukan, semangat untuk mengembalikan posisi-posisi politik struktural kepada “putra daerah” santer terdengar termasuk di Kecamatan Menjalin. Hal tersebut membuat komunitas Jawa, terutama bagi anggota-anggota komunitas yang berprofesi sebagai pegawai negeri merasa gelisah. Melihat gejala ini, para pengurus Sule Binua mengajak para anggota PNS di kampung ini berdialog. Intinya, para pengurus itu menekankan bahwa apapun yang akan terjadi di tingkat negara, mereka menjamin kerukunan dan keakraban di kampung itu tetap berjalan seperti biasa.
Pada suatu saat di tahun 2000 warga Sunge Banokng mendapatkan air Sungai Mempawah menyebabkan gatal-gatal ketika digunakan untuk mandi. Orang Sunge Banokng sendiri tidak menggunakan air sungai ini. namun sebagian warga Menjalin, termasuk asrama pelajar dan pastoran, menggunakan air sungai ini. Para pegiat di Sunge Banokng merasa berkewajiban secara moral untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka melakukan pengusutan dan menemukan warga suatu kampung di bagian hulu telah menuba ikan dengan racun kimia. Kebetulan ketua dewan adat Kecamatan Menjalin adalah warga Sunge Banokng. Lewat ketua dewan adat tingkat kecamatan ini mereka memanggil timanggong (kepala binua) dari kampung yang bersangkutan. Timanggong tersebut baru saja mengetahui persoalan ini karena baru saja datang luar kota. Timanggong tersebut segera menyelesaikan permasalahan yang di kampung yang berada di dalam wilayahnya
0 Comments:
Post a Comment